Bukan Karena Tak Tertarik: Akses Bacaan yang Membatasi Minat Baca di Indonesia

Buku seharusnya menjadi pintu menuju dunia pengetahuan yang lebih luas, namun kenyataannya, pintu itu acap kali tertutup rapat bagi banyak orang. Di banyak tempat, kita acap kali menemui perpustakaan yang lebih mirip dengan kuburan buku-buku lama. Rak-rak di perpustakaan umum sering kali dipenuhi dengan koleksi buku yang sudah lapuk, tak terawat, dan lebih sering dihiasi dengan debu daripada dengan pembaca. Buku-buku terbaru, yang mungkin menarik minat pembaca, sangat sulit ditemukan di tempat-tempat umum, apalagi jika kita berbicara tentang buku yang berkualitas tinggi dan relevan dengan perkembangan zaman. Bahkan, harga buku-buku tersebut sering kali setara dengan biaya hidup beberapa hari bagi sebagian orang.

Indeks Alibaca Indonesia menyebut, minat baca masyarakat Indonesia sejatinya tidak rendah karena ketidakpedulian atau ketidakmampuan untuk memahami teks, tetapi lebih karena terbatasnya akses terhadap bahan bacaan yang memadai dan terjangkau. Data yang diungkapkan oleh Indeks Alibaca menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat yang sangat rendah dalam hal literasi global, dan masalah utama bukanlah kurangnya antusiasme terhadap membaca, melainkan kesulitan untuk mendapatkan buku yang relevan, baik dari sisi harga, distribusi, maupun ketersediaannya. Dalam kenyataannya, buku adalah barang mewah bagi sebagian besar rakyat Indonesia, yang lebih sering hanya dapat dinikmati oleh mereka yang tinggal di kota besar atau kelompok yang memiliki akses ke teknologi dan sumber daya finansial yang memadai.

Salah satu masalah mendasar yang menghambat upaya peningkatan literasi di Indonesia adalah akses yang terbatas—bukan hanya terkait dengan ketersediaan buku fisik, tetapi juga dengan kehadiran buku digital. Meskipun teknologi digital telah berkembang pesat, nyatanya, banyak daerah di Indonesia yang masih kekurangan infrastruktur internet yang memadai. Akses internet yang terbatas menghalangi orang untuk memanfaatkan berbagai platform buku digital yang semakin populer. Pada saat yang sama, biaya untuk mengakses internet, membeli e-book, atau berlangganan aplikasi pembaca buku digital masih menjadi hambatan besar bagi banyak orang yang tinggal di luar kota besar.

Sementara itu, anggapan bahwa minat baca masyarakat Indonesia rendah acap kali disandarkan pada perspektif yang terlalu sempit, seolah-olah masalah ini hanya terletak pada sifat dasar orang Indonesia yang tidak gemar membaca. Padahal, jika kita benar-benar memahami akar permasalahan, kita akan tahu bahwa ketidakmampuan masyarakat untuk mengakses buku adalah penyebab utama. Ini adalah masalah struktural yang membutuhkan perhatian serius dari berbagai pihak, baik pemerintah, penerbit, maupun masyarakat secara keseluruhan.

Pindah ke dunia digital—di mana segala sesuatunya tampak lebih cerah, lebih modern. Buku e-book, platform pembaca digital, dan aplikasi yang menawarkan buku tanpa batas. Harapan kita mulai bangkit, namun kenyataan berkata lain. Di tempat-tempat yang tidak memiliki koneksi internet stabil, buku digital hanyalah angan-angan belaka. Akses internet di Indonesia masih seperti bintang jatuh—sangat jarang dan penuh harapan yang tak pernah menjadi kenyataan. Sebagian besar masyarakat, meskipun gawai sudah jadi barang pokok, masih harus berjuang dengan kuota yang terbatas. Mengunduh buku dengan data yang terbilang mahal hanya untuk membaca bab pertama adalah tindakan yang hampir mirip dengan membeli tiket konser mahal, hanya untuk mendengarkan lagu pembuka.

Namun, kendala terbesar mungkin bukanlah hanya soal perangkat atau kuota. Dalam dunia yang semakin sibuk ini, membaca buku fisik menjadi tindakan yang hampir seperti berjalan mundur. Anak-anak kita lebih acap kali berhadapan dengan layar smartphone ketimbang halaman buku. Di sekolah-sekolah, literasi diajarkan lebih seperti ritual—sebatas untuk mengejar nilai, bukan untuk menumbuhkan rasa ingin tahu yang tulus. Buku pelajaran lebih banyak menyuguhkan fakta yang tertulis tanpa ruang untuk imajinasi, sementara kebiasaan membaca sebagai bagian dari gaya hidup lebih jarang dijumpai daripada unicorn di taman kanak-kanak. Seakan-akan kita lupa bahwa buku bukan sekadar bahan ujian, tapi kunci untuk memahami dunia yang lebih luas.

Di luar sekolah, orang tua pun acap kali menjadi figur yang terlupakan dalam menciptakan budaya baca. Dalam kesibukan hidup, mereka terlalu terjebak dalam rutinitas yang memeras waktu, meninggalkan anak-anak mereka untuk tenggelam dalam dunia digital yang serba cepat. Orang tua mungkin masih ingat waktu mereka kecil, ketika buku adalah sahabat yang tak terpisahkan, namun bagi generasi sekarang, buku lebih acap kali kalah pamor dengan video TikTok yang durasinya lebih singkat dari waktu untuk membuka halaman pertama buku.

Namun, kendati segala kesulitan ini mengelilingi kita seperti badai, solusinya mungkin lebih sederhana dari yang kita kira. Akses menjadi kunci. Jika kita ingin membuka kunci pintu literasi, kita harus mulai dengan membuka akses ke buku—baik fisik maupun digital. Perpustakaan harus bertransformasi dari sekadar gudang buku menjadi tempat yang hidup, tempat di mana ide dan imajinasi bisa tumbuh bebas. Buku digital harus lebih terjangkau dan mudah diakses, bukan hanya untuk mereka yang tinggal di kota besar dengan jaringan internet yang mumpuni, tapi untuk seluruh lapisan masyarakat, dari Sabang hingga Merauke. Program literasi harus lebih dari sekadar pendidikan formal; ini adalah gerakan budaya yang melibatkan semua pihak.

Jika kita serius ingin mengubah nasib literasi bangsa, kita harus berpikir besar. Buku bukan hanya tentang kata-kata yang tercetak di atas kertas atau layar. Buku adalah pintu yang seharusnya bisa dibuka oleh siapa saja, kapan saja. Buku adalah oksigen bagi pikiran, yang harus bisa dihirup oleh setiap orang tanpa harus menunggu izin atau biaya tinggi. Hanya dengan itu, kita bisa berharap Indonesia bisa keluar dari bayang-bayang rendahnya minat baca dan menuju masa depan yang lebih cerah—di mana membaca bukan lagi menjadi barang langka, tetapi kebiasaan yang menyatu dalam darah dan napas kehidupan.
Beli Sekarang

Pesan via WhatsApp

Bukan Karena Tak Tertarik: Akses Bacaan yang Membatasi Minat Baca di Indonesia

Bukan Karena Tak Tertarik: Akses Bacaan yang Membatasi Minat Baca di Indonesia

* *%20

Pembayaran & Pengiriman

Kirim
  • Sinopsis

  • Deskripsi