Peradaban di Tangan Para Pembaca Buku
![]() |
Kita tahu sejarah punya selera humor yang aneh. Setiap kali manusia mencoba menjatuhkan dirinya ke jurang kebodohan, buku-buku, dan para pembacanya, muncul bak dewa penyelamat. Lihat saja abad ke-17 saat ide-ide John Locke dan Voltaire menghentak Eropa seperti komet yang tidak diundang. Berkat pembaca-pembaca itulah, ide kebebasan muncul, menghancurkan tatanan lama yang nyaman bagi segelintir elit yang sudah lama merasa "aman".
Namun, jangan dikira membaca adalah tugas yang sederhana. Membaca berarti memaksa diri Anda menatap cermin—bukan yang ada di kamar mandi yang bercahaya temaram dan sempurna untuk selfie, tetapi cermin brutal yang mengungkap betapa kecil, rapuh, dan seringkali betapa tololnya kita di hadapan kemegahan dunia.
Kita bisa menarik pelajaran besar dari negara-negara yang tinggi tingkat literasinya. Ambil contoh Jepang. Negara ini memiliki budaya membaca yang menjadikan perpustakaan sebagai tempat ziarah lebih populer ketimbang kafe Instagramable. Hasilnya? Negara ini memiliki teknologi maju, masyarakat disiplin, dan ekonomi kuat. Mereka mungkin bukan pembuat meme terbaik dunia, tetapi mereka membuat robot yang bisa menghancurkan kita dalam permainan catur. Begitu pentingnya membaca di sana, seolah mereka paham benar bahwa otak harus dilatih seperti otot—sayangnya, manusia modern lebih suka melatih jempol daripada akal.
Menurut laporan UNESCO, hanya sekitar 0,001% dari populasi Indonesia yang benar-benar aktif membaca buku. Untuk perbandingan, warga Finlandia membaca rata-rata 16 buku per tahun. Dengan statistik semacam ini, rasanya tidak mengherankan jika kita terus-terusan kalah dalam ujian literasi global. Sungguh, mungkin inilah ironinya: negara kita yang kaya cerita rakyat, sastra kuno, dan kisah epik ternyata lebih gemar membaca status WhatsApp.
Tapi apa yang terjadi jika pembaca buku menjadi barang langka? Bayangkan dunia di mana mereka punah. Siapa yang akan menentang propaganda media? Siapa yang akan membaca "s&k berlaku" dengan saksama sebelum mengeluh bahwa diskonnya tidak sah? Lebih menakutkan lagi, siapa yang akan mengajari kita bahwa Pride and Prejudice bukan nama influencer baru?
Kita hidup di masa di mana membaca menghadapi kompetisi ketat. Dunia internet penuh janji—"baca ini, dapatkan kekayaan dalam semalam," atau "5 trik sederhana untuk membuat Anda lebih menarik." Padahal, di balik layar, yang berkuasa hanyalah algoritma. Sementara itu, buku tetap setia menjadi antitesis dari budaya instan. Buku menuntut kesabaran, memberi pelajaran keras bahwa segala hal besar memerlukan proses, bukan hanya sekali klik.
Namun, jangan salah mengira bahwa buku adalah alat yang serius dan tanpa humor. Justru, ia bisa menjadi tempat persembunyian bagi sindiran tajam tentang kemanusiaan. Sebutlah 1984 karya George Orwell, sebuah cermin hitam tentang otoritarianisme, atau Catch-22 yang menggambarkan absurditas perang dengan humor pahit. Para pembaca buku ini tidak hanya menjadi penikmat cerita, tetapi juga pemikir yang mencurigai segalanya. Mereka memahami bahwa dunia ini tidak sesederhana hitam dan putih, apalagi biru dan hijau seperti logo perusahaan besar yang suka mendikte kehidupan kita.
Lalu bagaimana di Indonesia? Ah, negara kita adalah paradoks sempurna. Di satu sisi, kita memiliki beragam pustaka budaya yang membuktikan bahwa membaca pernah menjadi tradisi luhur. Di sisi lain, hasil survei literasi sering kali membuat kita terdiam seperti karakter dalam cerita surealis. Tampaknya, buku di sini lebih sering dianggap sebagai pajangan intelektual—raknya Instagramable, bukunya tetap tak terbuka.
Namun, harapan tidak hilang sepenuhnya. Kendati begitu, perlu diakui bahwa peradaban kita belakangan ini tampak hanya didominasi oleh hal-hal yang tren. Istilah 'viral' kini menjadi semacam mantra sakti yang mampu mengubah apa saja menjadi sorotan—entah itu tarian lucu, drama selebriti, atau bahkan skandal politik. Tragisnya, banyak yang memanfaatkan tren ini untuk popularitas sesaat daripada menawarkan makna mendalam. Akibatnya, atensi publik melompat-lompat dari satu isu ke isu lain, seperti kumbang mencari bunga tanpa pernah benar-benar menyelami kedalaman apapun.
Tapi gerakan kecil seperti komunitas membaca perlahan menciptakan gelombang perubahan. Mereka yang membaca, meski hanya segelintir, adalah pembakar api kecil yang bisa menjadi obor penerangan di masa depan. Jangan lupa, kebiasaan membaca tidak hanya diwariskan dalam gen, tetapi dalam sikap dan lingkungan. Jika seorang anak tumbuh di antara buku-buku, kecil kemungkinan dia tumbuh percaya bahwa bumi itu datar.
Sebuah riset dari Central Connecticut State University menempatkan Indonesia pada posisi ke-60 dari 61 negara dalam hal literasi pada tahun 2016. Statistik yang menyayat hati ini hanya bisa diubah jika kita semua bersedia menghidupkan kembali budaya membaca. Dari membaca cerita fiksi penuh imajinasi hingga buku non-fiksi berbobot yang menantang pemikiran, semuanya berkontribusi pada pembentukan peradaban yang lebih baik.
Jadi, pembaca buku adalah penyelamat yang tidak kita inginkan tetapi sangat kita butuhkan. Mereka adalah sekelompok makhluk eksotis yang masih percaya bahwa pengetahuan lebih bernilai daripada suka di media sosial. Jika peradaban di tangan mereka, kita masih memiliki harapan untuk membangun dunia yang penuh makna, bukan sekadar rangkaian tren singkat yang hilang dalam hitungan hari.
Mereka adalah penjaga api peradaban yang terus menyala, meski di tengah kegelapan arus utama yang hanya peduli pada apa yang viral dan sesaat. Jika tangan pembaca buku tetap memegang kendali, dunia memiliki kesempatan untuk bergerak ke arah yang lebih baik dan lebih bermakna. Sebuah peradaban yang indah—dunia yang berlandaskan pemikiran mendalam dan kebijaksanaan yang teruji waktu.
